
Pernah mendengar atau melihat kata dogmatis -entah di TV, Radio, Majalah, maupun diskusi-diskusi publik-?. Menurut wikipedia kata dogmatis berasal dari bahasa Yunani "Dogma" yakni kepercayaan atau doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi yang sejenis untuk bisa lebih otoritatif. Istilah dogmatisme mengandung arti bahwa orang berpegang pada kepercayaan mereka tanpa berpikir dan hanya ikut-ikutan saja. Kemudian menurut KBBI, pengertian dogmatis adalah mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dogmatis adalah sikap atau perilaku seseorang yang didasari oleh kepercayaan tertentu dengan sangat kuat dan tidak dapat diubah atau tidak dapat disesuaikan dengan kenyataan yang ada, sehingga orang tersebut tidak toleran dan terbuka dengan keberadaan ataupun pendapat yang berbeda dari orang lain.
Di dalam berkehidupan, kita banyak sekali terpapar dengan budaya dogma atau ikut-ikutan ini. Disaat kita lahir di dunia langsung disuguhi banyak hal tanpa menanyakan ulang hal-hal tersebut, saking seringnya kita terpapar maka kita akan menganggap bahwa hal itu normal-normal saja, kita tidak merasa aneh dengan hal yang kita jalani. Disamping kita sering terpapar budaya tersebut, lingkungan ternyata juga memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk pola pemikiran seperti itu. Jika kita memiliki pemikiran yang tidak sama dengan pemikiran orang-orang biasanya, kita akan dianggap nyeleneh dan tidak umum karena pemikiran yang baru memiliki potensi menciptakan sebuah perubahan baik diri sendiri maupun lingkungan.
Menghilangkan kebiasaan dogmatis memang gampang-gampang susah, paling gampang adalah melalui pengalaman secara langsung daripada hanya lewat teori-teori belaka. Misal saja seperti ilmu matematika, Pada saat guru bilang untuk mendapatkan angka 8 harus lewat perkalian 4x2 atau pertambahan 4+4, secara tidak langsung murid akan akan meniru apa yang gurunya katakan. Pada waktu bersamaan ada murid yang meiliki cara lain yakni dengan pengurangan 10-2, lantas teman-teman yang sudah terdoktrin bahwa angka 8 hanya bisa didapatkan dari perkalian 4x2 dan pertambahan 4+4 akan menganggap murid yang memiliki cara lain tersebut aneh dan nyeleneh karena tidak sesuai dengan teman yang lainnya. Begitulah contoh sederhananya agar mudah dipahami.
Kehidupan yang serba dogmatis ini menyebabkan semua orang diarahkan pada satu jalan yang sama dan acuh pada budaya bertanya. Misalnya kita ambil contoh di kampus atau di sekolah saja, jika guru/dosen mengucapkan kata-kata ini : “Ada pertanyaan? atau apakah ada yang ingin bertanya?” Maka tak jarang suasana kelas berubah menjadi hening dan sunyi bahkan tak sedikit pula dosen/guru yang marah akibat kelas mendadak sunyi. Kita sebagai mahasiswa/murid tidak mampu bertanya walaupun sebenarnya kita masih bingung dengan penjelasan dosen/guru. Adapun mahasiswa/murid yang menanyakan sesuatu karena ketidaktahuannya maka akan mendapat tekanan psikologis dari kawan-kawannya, entah itu dibilang menghabis-habiskan waktu, sok jago, sok pintar dan sebagainya atau sang dosen/guru justru memarahi mahasiswa/murid yang bertanya tadi dengan perkataan "Kamu tidak mendengarkan penjelasan saya (dosen/guru) ?", "Kan saya tadi sudah bilang mas/mbak, tidak memperhatikan ya?", padahal ia bertanya karena benar-benar tidak tahu apa yang dijelaskan oleh dosen/gurunya. Namun ada juga dosen/guru yang kewalahan menghadapi kelas yang sunyi pada saat disuruh bertanya, sampai-sampai sang dosen/guru memberikan hadiah berupa nilai jika mahasiswa/murid bisa bertanya. Menurut saya, hadiah berupa nilai ini justru melukai proses pembelajaran karena mahasiswa/murid mengincar hadiah nilainya bukan karena keingintahuan mereka sendiri, inilah yang menyebabkan cikal bakal budaya materialisme dikalangan mahasiswa/murid.
Di artikel ini kita tidak akan membahas tentang bagaimana teknik bertanya lalu apa itu budaya materialisme, melainkan kita membahas budaya "dogmatis" yang cara menghilangkannya adalah dengan bertanya. Jika kita melihat di lingkungan kita adalah lingkungan yang hanya mengikuti arus atau sistem sampai ada satu fenomena yang jarang sekali dipertanyakan oleh setiap manusia, padahal jelas-jelas fenomena itu setiap hari kita lihat, kita rasakan dan kita terlibat dengannya. Fenomena apakah itu? Yups, fenomena penggunaan uang kertas. Uang kertas ini adalah benda yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, yakni untuk alat transaksi. Diterimanya uang kertas di lingkungan sekitar, bukan berarti kita tidak boleh bertanya dengan sosok kehadirannya. Justru hal sepele inilah yang akan menghantarkan kita pada satu sudut pandang yang berbeda dari orang pada umumnya.
Siapa disini yang paham dengan asal-usul uang kertas? Nah, saya yakin tidak sedikit orang yang paham dengan asal-usul uang kertas ini karena budaya dogmatis inilah yang menyebabkan kita langsung masuk dalam cara hidup orang kebanyakan yang menerima uang kertas begitu saja tanpa menanyakan darimana asal uang kertas itu ada. Mestinya kita sebagai pengguna uang kertas menanyakan hal-hal dasar mengenai keberadaannya. Misal sekadar menanyakan:
"Darimana uang kertas ini berasal?",
"Terbuat dari apa uang kertas ini?"
"Mengapa uang kertas bisa berharga padahal hanya kertas ?"
"Mengapa tiap tahun nilainya semakin menurun?"
"Mengapa uang kertas negara A dengan negara B itu berbeda?"
"Mengapa dunia berpatokan pada satu mata uang yakni dollar?"
dan masih banyak lagi yang bisa dipertanyakan soal uang kertas ini. Dengan mencari seluk-beluk asal-usul uang kertas kita akan dibawa ke dalam sebuah dimensi yang berbeda dari dimensi kebanyakan manusia pada umumnya. Sebuah dimensi yang cukup mencengangkan dan mengagetkan bagi yang baru masuk dalam dimensi ini. Persoalan uang kertas yang sehari-hari kita terlibat dengannya ternyata cukup panjang sekali jika dijabarkan satu per satu. Saya hanya akan mengambil satu pertanyaan dari daftar pertanyaan diatas yakni "Mengapa uang kertas bisa berharga padahal hanya kertas ?". Secara fitrah akal sehat, konsep sebuah kertas bisa berharga itu ketika posisi kertas tersebut mewakili sebuah benda riil yang langka dan terbatas. Sebagai contoh apabila saya memiliki sebidang tanah kemudian saya wakili tanah tersebut dengan sebuah kertas (sertifikat), maka status kertas tersebut yang tadinya tidak berharga berubah menjadi berharga. Baik itu menggunakan kertas HVS, Karton, Asturo, Origami, Paperbook dan sebagainya. Nah konsep dasar inilah yang memungkinkan kita semua untuk membaca sistem uang kertas yang berlaku saat ini.
Alasan uang kertas bisa berharga itu karena mewakili benda riil, yaitu emas. Kata mewakili itulah yang sering disebut dengan "Backup". Kita tahu bahwa emas itu langka, susah didapat dan terbatas. Fitrah manusia ketika melihat sesuatu yang langka pasti menilai bahwa itu sangat berharga dan tidak bisa dielakkan. Coba jika uang kertas tidak dibackup oleh emas, apa yang terjadi? Ya status uang kertas itu hanya kertas yang tidak berharga, karena kertas sangat mudah sekali dicari dan dapat diperbarui.
No comments: