
Kok bisa sumbangan pernikahan adalah kegiatan yang merusak nilai keadilan? Kenapa bisa begitu? Apa sih sebenarnya sumbangan itu? Bukankah sumbangan itu justru membantu sesama dan mempererat tali persaudaraan? Bukankah sumbangan itu mempermudah urusan orang lain atau lembaga?
Oke, mari kita kupas tuntas dalam artikel yang saya buat ini. Sebelum kita jauh mengorek kegiatan ini, pastikan dulu kita paham dengan arti dan makna sumbangan itu sendiri. Pengertian sumbangan itu kan sebuah pemberian yang pada umumnya bersifat secara fisik (bisa dilihat dan diraba), sumbangan ini biasanya dilakukan oleh perorangan atau sebuah lembaga institusi, pemberian ini bersifat sukarela tanpa meminta imbalan balik. Sumbangan ini juga bisa diartikan sebagai sedekah atau donasi.
Menurut saya kegiatan sumbang menyumbang ini dibagi menjadi dua cabang, misalnya seperti:
- Sumbangan dalam hal agama (Infaq, pembangunan TPA, donasi di yayasan agama, pembangunan masjid, dll)
- Sumbangan dalam hal sosial (Donasi panti asuhan, donasi bencana, donasi pejuang jalanan, sumbangan hajatan dll)

Barangsiapa yang menyumbang maka mendapat dua keuntungan sekaligus, yakni keuntungan secara agama dan sosial. Agama mengajarkan kita untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan, jika agama saja mengajarkan hal itu maka dalam hal sosial otomatis akan mengikuti. Konsep tersebut juga berlaku untuk sumbangan dalam pernikahan, dimana kita membantu secara sukarela kepada pihak pengantin.
Tradisi nyumbang ini adalah tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang kita semua. Di jaman dulu, terutama orang Jawa ketika ada tetangga yang punya hajatan pernikahan, orang-orang datang berbondong-bondong untuk nyumbang, bentuk sumbangannya berupa bahan-bahan makanan, seperti beras, telur, gula, teh atau hasil perkebunan. Tradisi ini berawal dari kepedulian sesama dengan membantu dan gotong royong apabila ada tetangga yang sedang punya hajatan. Pada mulanya, kegiatan nyumbang ini adalah kegiatan yang menandakan ciri khas kehidupan yang guyup rukun di dalam masyarakat. Rasa peduli yang amat besar membuat masyarakat juga ikut andil dalam memikul beban orang lain. Ketika orang yang punya hajatan, pasti banyak uang yang dibutuhkan. Tak hanya itu saja yang dibutuhkan, dukungan tenaga juga sangat diperlukan misalnya seperti rewang, sinoman, among tamu dll.
Seiring berjalannya waktu, tradisi nyumbang menggunakan bahan-bahan makanan kini tergantikan dengan tradisi nyumbang menggunakan amplop atau biasa disebut dengan ngamplop. Artinya menyumbang menggunakan uang kertas karena bentuk sumbangan amplop dirasa cukup efisien dan tak harus repot-repot membawa bahan makanan yang berat.
Apabila diantara kita pernah mendapat undangan pernikahan kemudian disitu tertera tulisan "tanpa mengurangi segala hormat, kami tidak menerima bingkisan atau hadiah dalam bentuk barang". Kalimat tersebut dengan jelas bahwa sumbangan harus diwujudkan uang kertas. Tradisi ngamplop ini pun menjadi sangat lumrah karena menjadi kebiasaan di jaman sekarang, namun tak menutup kemungkinan tradisi nyumbang bahan makanan juga masih sering kita temui di masyarakat.
Dibalik tradisi ngamplop ini ternyata menyimpan informasi tersembunyi yang jarang atau bahkan tidak ada sama sekali yang membahasnya. Apa saja informasi tersebut? Mari kita jabarkan satu-satu:
1. Sumbangan tidak bersifat sukarela
Nah, ternyata kegiatan sumbang menyumbang dalam hajatan pernikahan itu tidak sama-sama sukarela, melainkan bersifat politis imbal balik yang sepadan. Contoh si A nyumbang Rp. 20.000 ke si B, maka nanti si B juga nyumbang Rp. 20.000 ke si A. Tak heran jika dalam penerimaan sumbangan harus dicatat dalam buku khusus untuk merekap siapa saja yang menyumbang dengan tujuan untuk mengembalikan sumbangannya dengan nominal yang sama, jika nanti suatu saat orang yang menyumbang itu ada hajatan pernikahan. Maka, tidak sepatutnya hal itu disebut sumbangan. Nah apabila mau disebut sumbangan, berarti amplop tidak ditulisi nama penyumbang dan tidak dicatat di buku khusus. Seperti halnya infaq yang tidak menggunakan nama dan bebas nominal.
2. Sumbangan menggunakan uang kertas itu merugikan satu sama lain
Mengapa bisa begitu? Iya, sebenarnya poin krusialnya terletak disini. Apabila kita mengkaji uang kertas ini maka ada satu fakta yang jarang diketahui banyak orang. Mengapa sumbangan dalam bentuk uang kertas ini tidak saya sarankan? Mari kita bahas dengan seksama.
Misalnya saja ada 2 keluarga. Keluarga A dan keluarga B, masing-masing keluarga tersebut memiliki anak. Keluarga A memiliki anak usia 5 tahun, sedangkan keluarga B memiliki anak usia 25 tahun. Maka pada saat anak keluarga B menikah, keluarga A nyumbang (katakanlah Rp. 50.000). Amplop tersebut diberi nama dan dicatat di buku khusus dengan tujuan untuk mengembalikan sumbangan keluarga A tadi jika anak keluarga A menikah. Nah, kemudian rencana anak keluarga A tadi ingin menikah di usia 23 tahun. Berarti keluarga B menunggu sekitar 18 tahun untuk mengembalikan sumbangan dari keluarga A tadi senilai Rp. 50.000. Sekarang pertanyaannya, nilai uang kertas Rp. 50.000 pada saat anak keluarga B menikah dengan pada saat anak keluarga A menikah apakah sama? Tentu beda, nilai uang Rp. 50.000 dimasa sekarang dengan 18 tahun yang akan datang akan mengalami penurunan. Ketika di jaman keluarga B, uang Rp. 50.000 itu bisa untuk beli apa saja, sedangkan di masa keluarga A Rp. 50.000 itu sudah kehilangan daya belinya. Kondisi inilah yang dinamakan depresiasi mata uang. Nah, berarti dalam hal ini yang dirugikan adalah keluarga A. Penjelasan diatas itu merupakan skema pertama
Skema keduanya adalah apabila ingin tetap adil dalam hal daya beli uang kertas, maka yang dilakukan adalah keluarga B menaikkan jumlah nominal uangnya tadi, misal Rp. 100.000. Namun tetap saja skema ini pasti memberatkan keluarga B karena harus menaikkan nominalnya. Saya justru menyarankan untuk menyumbang dalam bentuk harta riil (bahan makanan, hasil ternak/kebun, perabotan rumah tangga, dll)
Konsep diatas berlaku pada jangka waktu yang lama. Saya mengambil contoh 18 tahun imbal balik sumbangan, jika imbal balik sumbangan hanya terpaut 1 atau 2 tahun mungkin tidak akan terasa. Dalam hal ini sumber masalah itu terdapat pada uang kertasnya dan sistem pencatatan. Harusnya kegiatan ini tak memakai istilah sumbangan karena secara praktek kegiatan ini tidak mencerminkan perilaku menyumbang.

No comments: