"Nrimo Ing Pandum" Petuah yang Membutakan Masyarakat

Berbicara soal tanah Jawa, maka kita akan dihadapkan pada sebuah kebudayaan dan adat istiadat yang cukup membumi sekali. Banyak sekali aktifitas-aktifitas masyarakat Jawa yang masih memegang filosofi hidup warisan para leluhurnya. Maka tak jarang kita menemui fenomena ini di lngkungan masyarakat yang masih kental dengan unsur kebudayaan maupun adat istiadatnya.

Salah satu pitutur bijak yang dikenalkan para leluhur adalah "Nrimo ing Pandum". Bagi masyarakat Jawa pasti tak asing dengan pitutur yang satu ini. Pitutur yang sangat legendaris digunakan oleh banyak orang agar selalu hidup dengan sederhana dan senantiasa menerima atas pemberian tuhan atau bahasa mudahnya adalah bersyukur atas karunia tuhan. Jika dalam hidup kita masih tamak berarti kita tidak menganut pitutur ini.

Walaupun di masyarakat Jawa masih dikenal pitutur yang sangat filosofis ini, Namun, ada sutu kabar yang kurang mengenakan datang dari masyarakat itu sendiri, yakni generasi anak jaman sekarang kebanyakan sudah tak paham lagi dengan pitutur yang satu ini. sebenarnya mereka tau tetapi tidak memaknainya. Mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa peninggalan para leluhur ini lambat laun mulai dilupakan oleh masyarakat Jawa di jaman sekarang terutama generasi mudanya.

Diagram ven nrimo ing pandum

Jika digambarkan melalui diagram, maka hasilnya kurang lebih seperti diatas. Dimana disitu ada 3 faktor yang menyebabkan langgeng atau tidaknya pitutur ini di masyarakat.

1. Orang tua

Peranan orang tua sangat krusial sekali dalam membentuk sebuah kelompok masyarakat sekaligus yang mempertahankan kebudayaan setempat. Pada jaman dulu, para leluhur kita sangat hobi sekali memberi wejangan melalui lisan kepada anak-anaknya dan itu terus berlanjut ke generasi selanjutnya. Dari mulut ke mulut inilah yang menyebabkan langgengnya cerita maupun petuah-petuah para leluhur kita. Selain lewat lisan, para leluhur juga mencontohkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan falsafah hidup orang Jawa. Nah, jika sebagai orang tua saja tidak pernah mengajarkan petuah-petuah Jawa dan memberi contoh, sudah dimungkinkan petuah itu terputus dan generasi berikutnya siap-siap mendapat kebudayaan baru.

2. Pendidikan

Selain peran orang tua, ternyata peran pendidikan juga tak kalah pentingnya. Pendidikan juga memiliki fungsi untuk mepertahankan nilai-nilai masyarakat setempat. Dalam konteks ini pendidikan melalui bangku sekolah. Sekolah harus menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai karakter sekaligus memperkuat nilai karakter itu sesuai nilai yang berlaku di masyarakat itu sendiri. Bukan malah sebaliknya, sekolah menjauhkan nilai masyarakat dari peserta didik. Jelas ini sangat keliru sekali, secara tidak langsung sekolah menjadi tempat yang tidak setuju dengan nilai yang berlaku di masyarakat sekitarnya. Cara yang dilakukan sekolah hampir sama dengan para orang tua dirumah. Dimana guru mengajarkan dan memberi contoh agar setiap hari peserta didik terekspos dengan hal-hal yang positif. Namun realita justru mengatakan sebaliknya, dimana sekolah bukan menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat contohnya nrimo ing pandum. Sekolah justru menjadi tempat ajang pamer, entah itu pamer harta (Motor, mobil, HP, Assesoris), Ranking, Nilai mapel dsb. Perilku tersebut jelas bertentangan dengan konsep hidup nrimo ing pandum sekaligus sangat kurang sekali nilai toleransinya.

3. Lingkungan

Lingkungan disini adalah lingkungan pergaulan atau pertemanan. Jangan salah, lingkungan ini juga tak kalah petingnya karena bisa mempengaruhi pola hidup, jika kita berkumpul dengan manusia-manusia boros maka boroslah kita. Hal itu juga bertentangan dengan falsafah hidup tadi. Lingkungan pergaulan ini justru sangat dinamis sekali tinimbang keluarga dan sekolah (pendidikan) karena lingkungan pergaulan langsung terekspos dengan kebudayaan diluar kita. Sadar tidak sadar kita langsung terpapar dan mendapat kebudayaan baru.

Dari ketiga faktor diatas sangat jelas bahwa ketiga-tiganya mampu merubah sebuah kebudayaan masyarakat yang sudah lama dibangun oleh para leluhur.

Nah, terlepas dari bijaknya falsafah hidup orang jawa ini, ternyata kita juga harus bijak lagi dalam memaknai pitutur ini. Kita harus tau konteks dan situasi jika ingin memakai falsafah ini karena Nrimo ing pandum itu bisa menjadi baik maupun buruk. Lho kok buruk? Iya buruk, jika kita tidak tau konteksnya, Baik, saya kasih contoh penggunaan yang tepat dalam menerapkan falsafah nya misalnya pada saat kita diberi hadiah oleh teman sendiri, maka kita akan berterimakasih atas pemberiannya. Pada kondisi inilah kita memakai falsafah nrimo ing pandum secara tepat. Jika kita tidak memakai falsafah ini, niscaya kita akan meminta lebih, entah jumlah hadiahnya, ukuran hadiahnya dan sebagainya.

Disamping penggunaan yang tepat, ada juga penggunaan yang kurang tepat. Misalnya pada saat kita mengalami ban kempes, kemudian kita tidak ada respon apapun dan hanya berucap "Yaudah gapapa, saya harus nrimo kalo ban kempes". Hal ini jauh dari kata bijak, melainkan kebodohan yang dibungkus dalam kalimat bijak, seharusnya kalimat bijak mengantarkan kita pada kebaikan malah menjadi keburukan.

Nah, apabila kita sudah mengerti penggunaan falsafah ini maka langkah selanjutnya kita mengkaji ulang kehidupan ini dengan seksama dan kemudian saya menemukan adanya penggunaan pitutur ini yang salah dalam berkehidupan.

Yakni kita semua menerapkan "Nrimo ing Pandum" dalam posisi dibohongi dan ditindas. Falsafah ini ternyata tak mampu menjawab persoalan-persoalan yang tersembunyi di masyarakat. Karena yang diajarkan dalam falsafah ini adalah rasa menerima, bersyukur, dan sederhana. Hal tersebut memang baik, tetapi jika dalam konteks yang salah maka seperti apa yang sudah saya beri contoh diatas yakni bukan kebaikan yang datang tetapi malah keburukan. Sekarang jika kita dalam posisi dibohongi dan ditindas kemudian kita bersyukur atas kondisi tersebut apakah sudah benar penerapan rasa bersyukurnya? Tentu tidak,

Jika falsafah ini diberlakukan dalam semua aspek, baik itu dalam kondisi biasa maupun tidak biasa maka kita sebagai warga negara Indonesia tidak mengenal pahlawan-pahlawan yang dulunya memerangi penjajahan, sebut saja seperti Pangeran Diponegoro, Jendral Sudirman, Bung Tomo dan sebagainya. Apabila dalam kondisi tersebut mereka bersyukur atas penjajahan dan tak melakukan apapun, apakah itu pantas dijuluki sebagai rasa bersyukur?

Sama halnya pada masa sekarang yang semua sektor sebenarnya kita masih dijajah dan tidak bisa berdaulat. Saya mengambil penjajahan yang paling urgen, yakni penggunaan mata uang kertas. Penggunaan uang kertas tersebut sebenarnya kita ditipu, diperdaya, diperas habis-habisan dan anehnya kita semua menerima uang ini untuk keberlangsungan hidup. Saya berulang kali mengatakan bahwa uang kertas ini tidak ada nilainya, uang kertas ini bernilai karena masyarakat diberitahu oleh pemerintah dan bank sentral bahwa uang ini ada nilainya. Padahal kalo dikaji secara rinci ada banyak hal yang dapat diungkap dalam sistem uang kertas ini. Namun masih sedikit yang mengetahuinya. Semoga saja banyak masyarakat yang semakin melek dengan pembodohan secara sistemik ini dan mencari jawaban atas segala hal dalam kehidupan sehari-hari.

Pembahasan mengenai uang kertas tentu tidak akan saya bahas di artikel ini karena bakal panjang lebar. Saya bakal memecahnya menjadi bagian-bagian kecil agar mudah dalam proses pemahaman sekaligus memudahkan saya dalam menulis artikel.

Pesan saya "Jangan memakai falsafah nrimo ing pandum pada penggunaan uang kertas"

"Nrimo Ing Pandum" Petuah yang Membutakan Masyarakat "Nrimo Ing Pandum" Petuah yang Membutakan Masyarakat Reviewed by Isra Yuwana Tiyartama on January 08, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.